KNPB Sebut Polri Rampas Tanah Rakyat Papua


militandfreewestpapua@gmail>com
Pendudukan kantor Komite Nasional Papua Barat, KNPB dan penangkapan aktivis Papua oleh kepolisian Mimika berbuntut panjang. Kini simpati terhadap KNPB mulai mengalir dari luar negeri.



Komite Nasional Papua Barat (KNPB) menilai kepolisian  telah melakukan sejumlah aksi pelanggaran. Di lain  pihak, polisi menyebut KNPB melakukan aksi  makar. Sekretaris Jenderal Komite Nasional Papua Barat (KNPB) Pusat, Ones Nesta Suhuniap mengungkapkan pihaknya telah mengajukan somasi kepada kepolisian. Dipaparkan Suhuniap: "Kami akan menempuh jalur hukum. Kami sudah keluarkan surat somasi pada kepolisian, kami memberi waktu tiga hari pada kepolisian jika tidak meninggalkan kantor KNPB , maka kami akan melanjutkan kasus lewat jalur hukum dan pra peradilan"
Dalam keterangan persnya, KNPB menulis perampasan tanah dan kantor KNPB yang berlokasi di komplek sosial Timika, Kabupaten Mimika, Papua, tanggal 31 Desember  sama saja dengan perampasan, "Karena kantor KNPB di Timika itu dibangun oleh rakyat Papua wilayah Timika di atas tanah milik rakyat Papua."
Menurut KNPB saat penggerebekan kantor KNPB tanggal 31 Desember lalu, kepolisian tidak menunjukkan surat penggerebekan maupun penangkapan. "Padahal itu acara ulang tahun kantor wilayah KNPB Timika." Ones Suhuniap menjelaskan, "Setiap tanggal 31 Desember, KNPB selalu mengadakan ibadah untuk mensyukuri hari jadinya kantor KNPB Timika sekaligus beribadah untuk melepas tahun yang berlalu dan menyambut tahun yang baru, namun kami malah dituduh melanggar keutuhan negara."
Suhuniap memaparkan aktivitas  KNPB selalu dikontrol polisi, sebelumnya penangkapan aktivis KNPB juga kerap terjadi. KNPB adalah organisasi gerakan sipil yang menuntut penentuan nasib sendiri lewat mekanisme referendum untuk mengakhiri konflik di Papua. Menurut Suhuniap, selama ini polisi menganggap KNPB sebagai organisasi ilegal: "Tapi menurut kami, kami berorganisasi itu dijamin oleh undang-undang Indonesia, hak berkumpul, berserikat."
Sekjen KNPB, Ones Suhuniap mengatakan status integrasi Papua ke Indonesia belum final. "Pepera pada tahun 1969 itu cacat hukum. Hal itu yang mengakibatkan rakyat Papua menuntut penentuan nasib sendiri, diberikan ruang untuk rakyat Papua memilih tetap bersama Indonesia atau memerdekakan diri, akibat status politik dari NKRI yang belum final."
Pepera adalah referendum yang diadakan pada tahun 1969 di Papua Barat yang untuk menentukan status daerah bagian barat Pulau Papua, antara milik Belanda atau Indonesia. Pemilihan suara ini menanyakan apakah sisa populasi mau bergabung dengan Republik Indonesia atau merdeka.  Para wakil yang dipilih dari populasi dengan suara bulat memilih persatuan dengan Indonesia dan hasilnya diterima oleh PBB.
Namun dari beberapa sumber termasuk  buku ‘ Jurnal sejarah: pemikiran, rekonstruksi, persepsi' yang diterbitkan Yayasan Masyarakat Sejarawan Indonesia  tercatat ada laporan tentang intimidasi, dalam pelaksanaan Pepera, terutama yang dilakukan oleh tentara.

Comments